This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Tuesday, 23 February 2016

Litigasi mekanisme pengajuan gugatan ke pengadilan, 5 macam surat dakwaan


Polisi mengeluarkan surat dakwaan hasil penyelidikan dan penyidikan
mekanisme keluarnya surat dakwaan dari polisi
  • Laporan
  • Pengujian
  • Penemuan
Mekanisme ajukan gugatan tindak pidana dan perdata
  1. Tindak pidana -> polisi->kejaksaan->pengadilan
  2. Perdata -> langsung kepengadilan juga bisa.
Syarat seorang bisa ditangkap 1kali 24jam
  • Ancaman yang disangkakakan lebih dari 5 tahun, dan yang berhak menahan penyidik/polisi selama 20 hari perpanjangan selama 60 hari, dari kejaksaan 50 hari, hakim 90 hari dan ketua pengadilan 30 hari.
Jaksa membuat dakwaan berdasarkan sangkaan pada tersangka karena pasal yang di sangkakan.
5 Macam Surat Dakwaan
  1. Dakwaan Tunggal -> dianggap melanggar 1 pasal tindak pidana.
  2. Dakwaan Kumulatif -> melanggar lebih dari 1 pasal tindak pidana.
  3. Dakwaan Subsidair -> keraguan dalam tindak pidana yg primer dan skunder pasal yg disangkakan lebih dari 1.
  4. Dakwaan alternatif -> pilihan dari salah satu pasal tindak pidana.
  5. Dakwaan Kumulatif -> afiliasi dari tindak pidana primer dan sekunder.
Surat Dakwaan terbagi menjadi 2.
  • Surat Dakwaan Formil -> diberi tanggal.
  • Surat Dakwaan Materil -> dijelaskan secara jelas waktu dan tempat tindak pidana.
Berdasarkan uraian di atas sangat penting surat dakwaan bagi ;
  • Jaksa -> sebagai penuntutan pengadilan, dasar pembuktian di dalam persidangan, dan landasan yuridis dasar
  • Terdakwa -> sebagai dasar  pembelaan dan pembalikan bukti-bukti.
  • Hakim -> sebagai dasar persidangan dan putusan di pengadilan.
Syarat surat dakwaan Formil dan Materil
  • Cermat -> surat dakwaan harus sesuai Undang-undang yang berlaku, tidak terdapat kekeliruan.
  • Jelas -> harus mampu merumuskan unsur-unsur dari delik-delik dakwaan yang di sangkakan.
  • Lengkap -> harus mencakup semua unsur.
Pasal yg terkait dalam surat dakwaan pasal 138 (1) (2), pasal 139 KUHP



Semoga Bermanfaat.

Monday, 22 February 2016

surat dakwaan pencurian dakwaan formil dan materil

Contoh Surat Dakwaan Kasus Pencurian



KEJAKSAAN NEGERI BANYUWANGI                                                                                                                 P-29
“ UNTUK KEADILAN “    
SURAT DAKWAAN
NOMOR REG PERK : PDM-589/Ep.2/BWANGI/1/2012
A.      IDENTITAS TERDAKWA :
Nama lengkap               : SAPIMAKANRUMPUTSAWAH
Tempat lahir                  : Banyuwangi
Umur/Tgl. Lahir            : 34 tahun / 11 Nopember 1978
Jenis Kelamin                : Laki- laki
Kebangsaan                  : Indonesia
Tempat tinggal              : Dusun Krajan Rt. 80 Rw. 60 Desa Songgon Kec. Songgon Kab. Banyuwangi
Agama                            : Islam
Pekerjaan                        : Buruh tani
Pendidikan                     : SMA
B.      PENAHANAN TERDAKWA :
Oleh Penyidik                                               : Rutan sejak tgl.  11 Nopember 2011 s/d Tgl. 30 Nopember 2011
Diperpanjang oleh Penuntut Umum         : sejak tgl. 1 Desember 2011 s/d Tgl. 9 Januari 2012
Diperpanjang oleh Ketua PN                     : sejak tgl. 10 Januari 2012 s/d tgl. 8 Februari 2012
C.      DAKWAAN :
PRIMAIR
---- Bahwa ia Terdakwa, BOIMAN, pada hari Kamis tanggal 10 Nopember 2011 sekitar pukul 17.00 wib atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam bulan Nopember 2011 bertempat di Dusun Krajan Desa Songgon Kec. Songgon Kab. Banyuwangi atau setidak-tidaknya pada suatu tempat lain yang temasuk Daerah Hukum Pengadilan Negeri Banyuwangi, secara tanpa hak dan melawan hukum dengan sengaja melakukan pencurian, yang dilakukan terdakwa dengan cara sebagai berikut :
·         Bahwa pada waktu dan tempat seperti tersebut diatas, terdakwa , BOIMAN , sedang berjalan-jalan di pinggir sungai.
·         Bahwa terdakwa, BOIMAN,  melihat dan mengetahui ada sepeda motor di parker di tepi sungai dan tidak diketahui pemiliknya.
·         Bahwa terdakwa, BOIMAN,  kemudian mengambil kunci T yang ada di sakunya, kemudian di masukkan ke lubang kunci sepeda motor tersebut setelah agak dipaksakan dan akhirnya kunci tersebut dapat digunakan. Kemudian Terdakwa , BOIMAN , menuntun sepeda motor tersebut agak menjauh dari tepi sungai agar bilamana di stater, bunyinya tidak terdengar oleh pemiliknya.
·         Bahwa saksi, BAMBANG, yang kebetulan melintas pulang dari sawah sempat melihat Terdakwa, BOIMAN, sedang menuntun sepeda motor tersebut.
·         Bahwa tidak lama kemudian terdengar teriakan saksi korban , SOFYAN , “ Maling—maling—maling “ dan membuat warga sekitar berhamburan keluar dan berusaha mencari tahu apa yang terjadi dan apa yang hilang, termasuk saksi , BAMBANG , juga ikut bertanya.
·         Bahwa atas petunjuk saksi , BAMBANG , diberitahukan kalau sepeda motor milik saksi korban , SOFYAN , dibawa oleh terdakwa , BOIMAN , kearah yang ditunjukkan oleh saksi , BAMBANG .
-------------Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 362   jo pasal  363 ayat ( 1 ) ke-5 KUHP -------------------------------------------------------------------------------.
Banyuwangi, 10 Januari 2012
JAKSA PENUNTUT UMUM

Sunday, 21 February 2016

Kemampuan Bertanggung Jawab, Alasan-alasan penghapus pidana, alasan pembenar, alasan pemaaf.


Alasan-alasan Pengahapus Pidana.
      Alasan penghapus pidana ada 2 yaitu ;
  1. Alasan Pemaaf ialah alasan yang menghilangkan sifat kesalahan pelaku, sehingga perbuatan tersebut diperbolehkan, pasal 44 KUHP (cacad mental), pertumbuhan yang idiot, penyakit (orang gila)
  2. Alasan Pembenar ialah alasan yang menghilangkan sifat melawan hukum.
  • Pasal 48 KUHP_> daya paksa ( overmacht) 
      - Dalam literatur hukum pidana biasanya daya paksa itu dibagi dua, yang pertama daya paksa yang absolut atau mutlak, biasanya disebut vis absoluta. Bentuk ini sebenarnya bukan daya paksa yang sesungguhnya, karena disini pembuat sendiri menjadi korban paksaan fisik orang lain. Jadi ia tidak mempunyai pilihan lain sama sekali. Misalnya, seseorang yang diangkat oleh orang pegulat yang kuat lalu dilemparkan ke orang lain sehingga orang lain itu tertindas dan cidera. Orang yang dilemparkan itu sendiri sebenarnya menjadi korban juga sehingga sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan menindas orang lain. Orang yang dilemparkan ini tidak dapat berbuat lain. Daya paksa absolut seperti ini bersifat fisik, tetapi dapat juga bersifat psikis, misalnya orang yang dihipnotis, sehingga melakukan delik. Disinipun orang tersebut tidak dapat berbuat lain. Dalam hal ini, daya paksa itu datang dari luar. Mungkin dari manusia seperti disebutkan diatas, mungkin pula dari alam, misalnya pilot yang pesawatnya terhempas ke landasan karena gempa dan menimpa pula pesawat lain sehingga jatuh korban di pesawat lain itu.
Menurut Vos, memasukkan vis absoluta ke dalam daya paksa adalah berkelebihan (overbodig), karena pembuat yang dipaksa secara fisik itu sebenarnya tidak berbuat. Perbuatan itu berarti perbuatan yang disadari dan orang yang memaksa itu bukan sebagai pembuat tidak langsung tetapi sebagai pembuat. Orang yang dipaksa tidak termasuk dalam rumusan delik. Jadi, kalau dia dituntut mestinya diputus bebas (yang sengaja atau kelalaian merupakan unsur delik) bukan lepas dari tuntutan hukum. Kecuali beberapa hal dalam delik pelanggaran karena disitu kesalahan tidak secara tegas merupakan elemen delik. Hal ini dapat dibandingkan dengan strict liability (tanggung jawab mutlak).
Van Bemmelen mengatakan bahwa daya paksa (overmacht) itu suatu pengertian normatif. Itu meliputi hal – hal yang seseorang karena ancaman, terpaksa melakukan delik. Kalau ia melawan ancaman itu maka berarti ia berani sebagai pahlawan atau sangat tolol. Kalau seseorang diancam dengan pistol untuk membunuh orang lain, dapat dianggap sebagai telah berbuat karena daya paksa. Yang disebut Van Bemmelen ini adalah bentuk yang sebenarnya daya paksa itu, yang biasa disebut daya paksa relatif atau vis compul siva.
Daya paksa relatif dibagi menjadi dua macam, yaitu; yang pertama daya paksa dalam arti sempit (overmacht in engere zin) dan daya paksa yang disebut keadaan darurat (noodtoestand). Daya paksa dalam arti sempit ialah disebabkan oleh orang lain, sedangkan daya paksa yang berupa keadaan darurat (noodtoestand) disebabkan oleh bukan manusia. Contoh klasik keadaan darurat ialah jika terjadi kecelakaan kapal seperti Tampomas II, orang melompat ke laut, dan ada orang yang mendapatkan sepotong papan sebagai pelampung tetapi hanya untuk seseorang saja. Jika ada orang yang merebut dan mendorong orang yang memegang papan itu supaya ia sendiri selamat, maka disebut keadaan darurat (noodtoestand). Contoh klasik ini diperkenalkan oleh Cicero didalam bukunya Republica et de ifficio yang menunjuk tulisan filsuf Yunani yang bernama Karneades. Keadaan darurat semacam ini sering disebut sebagai suatu kepentingan melawan kepentingan, atau ada dua kepentingan yang saling berhadapan, yaitu kepentingan untuk hidup. Adalah kepentingan orang yang memegang papan untuk hidup, begitu pula yang merebut papan itu. Keadaan darurat lain, yaitu pertentangan antara kepentingan dan kewajiban, misalnya seseorang yang dikejar binatang buas lari masuk ke rumah orang tanpa izin. Disini kepentingan untuk hidup berhadapan dengan kewajiban untuk menaati hukum (tidak memasuki rumah orang tanpa izin).
Bentuk lain dari daya paksa, yaitu kewajiban berhadapan dengan kewajiban. Atau dengan kata lain, pembuat harus melakukan dua kewajiban sekaligus yang saling bertentangan. Misalnya, kewajiban seseorang penjaga keamanan yang setiap saat harus berada di posnya, berhadapan dengan kewajiban untuk melaporkan permufakatan jahat untuk melakukan delik yang diketahuinya (pasal 164 KUHP). Kalau ia pergi melapor ke pos polisi tentang adanya permufakatan itu, berarti ia meninggalkan  pos penjagaannya yang berarti melalaikan  kewajiban tersebut. Atau contoh lain seseorang yang dipanggil menjadi saksi pada dua pengadilan yang bersamaan waktunya. Maka ia harus meninggalkan salah satu kewajiban tersebut (Menurut pasal 522 KUHP seseorang yang dipanggil sebagai saksi tidak datang tanpa alasan yang sah, diancam dengan pidana).  
Pertanyaan yang timbul berikutnya ialah apakah daya paksa (overmacht) termasuk dasar pembenar atau dasar pemaaf. Para penulis berbeda pendapat mengenai hal ini. Ada yang mengatakan bahwa semua bentuk daya paksa (ov ermacht), baik dalam arti sempit maupun keadaan darurat (noodtoestand) termasuk dasar pemaaf (schulduitluitingsgrond). Alasannya ialah semua perbuatan yang dilakukan itu masih tetap melawan hukum; hanya orangnya tidak dipidana karena terpaksa, baik yang berasal dari manusia maupun dari keadaan. Van Hattum berpendapat demikian, yang diikuti oleh Moeljatno yang mengatakan: “Dari pendapat – pendapat tersebut diatas yang paling dapat saya setujui adalah pendirian Van Hattum. Atas perbuatan yang dilakukan oleh karena pengaruh daya paksa, dimana fungsi batinnya tidak dapat bekerjasecara normal karena adanya tekanan – tekanan dari luar, orang itu dapat dimaafkan kesalahannya. Yang masih menjadi persoalan tentunya ialah berapa besar seharusnya tekanan bathin dari luar itu, untuk dapat dikatakan ada daya paksa yang mengakibatkan kesalahan dapat dimaafkan”.   
Tetapi pendapat yang umum ialah daya paksa itu dapat  berupa dasar pembenar dan dapat pula berupa dasar pemaaf. Jadi menurut para ahli ini, daya paksa (overmacht) yang tercantum didalam pasal 48 KUHP dapat dipisahkan menurut teori atas dua jenis. Van Bemmelen meneyebut keadaan darurat (noodtoestand) sebagai dasar pembenar (rechtvaardigingsgrond). Disini perbuatan dibenarkan, misalnya sopir yang berhenti di jalan umum karena mobilnya mogok, dapat mengajukan sebagai keadaan darurat (noodtoestand). Daya paksa membenarkan (rechtvaardigt) perbuatan – perbuatan jika pembuat tidak mempunyai pilihan yang lain.  
Sedangkan daya paksa dalam arti sempit (artinya ada paksaan dari orang lain), termasuk dalam dasar pemaaf. Yang berpendapat daya paksa dapat dimasukkan sebagai dasar pembenar dan dasar pemaaf seperti ini termasuk pula Simons, Noyon – Langemeijer, Hazewinkel -  Suringa dan juga Jonkers.
Hazewinkel – Suringa menunujuk putusan mengenai keadaan darurat yang paling termasyur, yaitu arrest  kaca mata (opticien arrest, H.R. 15 Oktober 1923 N.J. 1923). Pengadilan Amsterdam  melepaskan seorang penjual kacamata dari semua tuntutan hukum, sesudah dibuktikan bahwa ia, pada waktu toko sudah harus ditutup menurut peraturan yang berlaku di Amsterdam, menjual sebuah kacamata pada seorang yang bernama de Grooth. Karena ditiup angin badai kacamata tuan de Grooth jatuh dan pecah, sehingga ia tidak dapat melihat apa – apa lagi dan oleh karena itu ia berada dalam keadaan berbahaya dan memerlukan pertolongan. Hazewinkel – Suringa selanjutnya menghubungkan putusan ini dengan pendapat Simons, yang mengatakan dalam hal ini Hoge Raad telah menambah keadaan darurat dalam arti sempit yang dahulu berupa daya paksa psikis menjadi lebih luas, yaitu daya paksa obyektif (objectieve overmacht). Disini tidak lagi berupa daya paksa psikis yang mengatakan tidak dipidananya pembuat tetapi telah menjadi dasar pembenar (rechtsvaardigingsgrond), yaitu tidak dipidananya perbuatan: Hazewinkel – Suringa menunjuk H.R. 24 Maret 1953.
Hazewinkel – Suringa sama dengan Van Bemmelen membedakan daya paksa sebagai dasar pembenar dan dasar pemaaf. Paksaan psikis atau daya paksa dalam arti sempit merupakan dasar pemaaf, sedangkan keadaan darurat merupakan dasar pembenar. Tetapi Vos mengatakan bahwa keadaan darurat (noodtoestand) tidak selalu berupa dasar pembenar, kadang – kadang berupa dasar pemaaf. Ia memberi contoh jika seseorang  menghilangkan nyawa beberapa orang untuk menyelamatkan jiwanya sendiri, maka perbuatan itu tidak dapat dibenarkan tetapi orangnya tidak dipertanggungjawabkan. Disini katanya keadaan darurat sebagai dasar pemaaf. Jika seseorang meniggalkan pos penjagaan karena pergi melaporkan tentang terjadinya permufakatan untuk melakukan kejahatan, maka disini ada dasar pembenar.  Kalau kita bandingkan dengan KUHP Jerman (Barat) yang baru, memamng Nodstand dibagi dua, yaitu pasal 34 mengatur tentang dasar pembenar (Rechtfertigender Notstand) dan pasal 35 mengatur dasar pemaaf (Entschulddigender Notstand).
Pompe berpendapat, yaitu daya paksa (overmacht) dimasukkan sebagai dasar pembenar semuanya.  Alasannya ialah pemisahan antara “daya paksa” sebagai dasar peniadaan kesalahan dan “keadaan darurat” sebagai dasar pembenar tidak dapat diterima. Daya paksa itu adalah suatu dorongan yang orang – orang tidak dapat melawannya. Penerapannya dikaitkan dengan kelayakan, perundang – undangan dan keadaan konkret. Arti faktor psikis di dalam daya paksa di luar pembuat. Faktor psikis didalam daya paksa memperlihatkan hubungan antara melawan hukum dan kesalahan.
Van Hamel mengatakan bahwa baik dorongan psikis merupakan keadaan darurat (noodtoestand)  sebagai dasar pembenar, karena pembuat tidak perlu memberi perlawanan. Hazewinkel – Suringa mengatakan bahwa daya paksa (overmacht) itu selalu datang dari luar diri pembuat yang lebih kuat dari dirinya sendiri. Melihat istilah overmacht sudah menunjukkan maksud itu. Kekuatan dari luar itu mendorong dirinya untuk berbuat yang tidak dapat dielakannya. Memori Penjelasan (MvT) juga menyebutnya sebagai sebab luar dari tidak dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, keyakinan susila dan keberatan bathin tidaklah merupakan daya paksa. Seorang pendeta yang menghasut orang agar menolak dinas militer berdasarkan keyakinan susila mengenai persiapan perang dan membunuh sesama manusia, dapat dituntut karena menghasut (H.R. 26 Juni 1916, N.J. 1916, hlm. 703).


Daya paksa (overmacht) tercantum di dalam pasal 48 KUHP. Undang – undang hanya menyebut tentang tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan karena dorongan keadaan yang memaksa. Artinya berbunyi: “Niet strafbaar is hij die een feit begaat waartoe hij door overmacht is gedrongen”.
Undang – undang tidak menjelaskan apakah itu keadaan memaksa (overmacht). Tidak jelas, apakah overmacht itu, apa sebab sehingga dipidana, apakah menyangkut perbuatan (feit) ataukah pembuatnya. Masalah ini telah berabad – abad dipersoalkan oleh para yuris dan filosof. Remmelink yang mengerjakan buku Hazewinkel – Suringa, cetakan ke – 8, mengatakan bahwa pada cetakan ini ia akan membicarakan sebab yang menjadi dasar tidak dapat dipidana overmacht itu. Didalam hukum alam katanya orang berpendapat bahwa perbuatan karena keadaan terpaksa itu berada diluar semua hukum. Necessitas no haber legem (Not kennt kein Gebot), kata hukum Kononik. Fichte berpendapat bahwa siapa yang membuat karena overmacht exempt vont der Rechsordnung. Menurut penjelasan MvT, orang yang karena sebab yang datang di luar sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan, yaitu setiap kekuatan, dorongan, paksaan yang orang tidak dapat memberikan perlawanan. Jadi, ini diserahkan kepada Hakim, dan tentu dapat dikembangkan dalam doktrin oleh para pakar. 
Dalam literatur hukum pidana biasanya daya paksa itu dibagi dua, yang pertama daya paksa yang absolut atau mutlak, biasanya disebut vis absoluta. Bentuk ini sebenarnya bukan daya paksa yang sesungguhnya, karena disini pembuat sendiri menjadi korban paksaan fisik orang lain. Jadi ia tidak mempunyai pilihan lain sama sekali. Misalnya, seseorang yang diangkat oleh orang pegulat yang kuat lalu dilemparkan ke orang lain sehingga orang lain itu tertindas dan cidera. Orang yang dilemparkan itu sendiri sebenarnya menjadi korban juga sehingga sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan menindas orang lain. Orang yang dilemparkan ini tidak dapat berbuat lain. Daya paksa absolut seperti ini bersifat fisik, tetapi dapat juga bersifat psikis, misalnya orang yang dihipnotis, sehingga melakukan delik. Disinipun orang tersebut tidak dapat berbuat lain. Dalam hal ini, daya paksa itu datang dari luar. Mungkin dari manusia seperti disebutkan diatas, mungkin pula dari alam, misalnya pilot yang pesawatnya terhempas ke landasan karena gempa dan menimpa pula pesawat lain sehingga jatuh korban di pesawat lain itu.
Menurut Vos, memasukkan vis absoluta ke dalam daya paksa adalah berkelebihan (overbodig), karena pembuat yang dipaksa secara fisik itu sebenarnya tidak berbuat. Perbuatan itu berarti perbuatan yang disadari dan orang yang memaksa itu bukan sebagai pembuat tidak langsung tetapi sebagai pembuat. Orang yang dipaksa tidak termasuk dalam rumusan delik. Jadi, kalau dia dituntut mestinya diputus bebas (yang sengaja atau kelalaian merupakan unsur delik) bukan lepas dari tuntutan hukum. Kecuali beberapa hal dalam delik pelanggaran karena disitu kesalahan tidak secara tegas merupakan elemen delik. Hal ini dapat dibandingkan dengan strict liability (tanggung jawab mutlak).
Van Bemmelen mengatakan bahwa daya paksa (overmacht) itu suatu pengertian normatif. Itu meliputi hal – hal yang seseorang karena ancaman, terpaksa melakukan delik. Kalau ia melawan ancaman itu maka berarti ia berani sebagai pahlawan atau sangat tolol. Kalau seseorang diancam dengan pistol untuk membunuh orang lain, dapat dianggap sebagai telah berbuat karena daya paksa. Yang disebut Van Bemmelen ini adalah bentuk yang sebenarnya daya paksa itu, yang biasa disebut daya paksa relatif atau vis compul siva.
Daya paksa relatif dibagi menjadi dua macam, yaitu; yang pertama daya paksa dalam arti sempit (overmacht in engere zin) dan daya paksa yang disebut keadaan darurat (noodtoestand). Daya paksa dalam arti sempit ialah disebabkan oleh orang lain, sedangkan daya paksa yang berupa keadaan darurat (noodtoestand) disebabkan oleh bukan manusia. Contoh klasik keadaan darurat ialah jika terjadi kecelakaan kapal seperti Tampomas II, orang melompat ke laut, dan ada orang yang mendapatkan sepotong papan sebagai pelampung tetapi hanya untuk seseorang saja. Jika ada orang yang merebut dan mendorong orang yang memegang papan itu supaya ia sendiri selamat, maka disebut keadaan darurat (noodtoestand). Contoh klasik ini diperkenalkan oleh Cicero didalam bukunya Republica et de ifficio yang menunjuk tulisan filsuf Yunani yang bernama Karneades. Keadaan darurat semacam ini sering disebut sebagai suatu kepentingan melawan kepentingan, atau ada dua kepentingan yang saling berhadapan, yaitu kepentingan untuk hidup. Adalah kepentingan orang yang memegang papan untuk hidup, begitu pula yang merebut papan itu. Keadaan darurat lain, yaitu pertentangan antara kepentingan dan kewajiban, misalnya seseorang yang dikejar binatang buas lari masuk ke rumah orang tanpa izin. Disini kepentingan untuk hidup berhadapan dengan kewajiban untuk menaati hukum (tidak memasuki rumah orang tanpa izin).
Bentuk lain dari daya paksa, yaitu kewajiban berhadapan dengan kewajiban. Atau dengan kata lain, pembuat harus melakukan dua kewajiban sekaligus yang saling bertentangan. Misalnya, kewajiban seseorang penjaga keamanan yang setiap saat harus berada di posnya, berhadapan dengan kewajiban untuk melaporkan permufakatan jahat untuk melakukan delik yang diketahuinya (pasal 164 KUHP). Kalau ia pergi melapor ke pos polisi tentang adanya permufakatan itu, berarti ia meninggalkan  pos penjagaannya yang berarti melalaikan  kewajiban tersebut. Atau contoh lain seseorang yang dipanggil menjadi saksi pada dua pengadilan yang bersamaan waktunya. Maka ia harus meninggalkan salah satu kewajiban tersebut (Menurut pasal 522 KUHP seseorang yang dipanggil sebagai saksi tidak datang tanpa alasan yang sah, diancam dengan pidana).  
Pertanyaan yang timbul berikutnya ialah apakah daya paksa (overmacht) termasuk dasar pembenar atau dasar pemaaf. Para penulis berbeda pendapat mengenai hal ini. Ada yang mengatakan bahwa semua bentuk daya paksa (ov ermacht), baik dalam arti sempit maupun keadaan darurat (noodtoestand) termasuk dasar pemaaf (schulduitluitingsgrond). Alasannya ialah semua perbuatan yang dilakukan itu masih tetap melawan hukum; hanya orangnya tidak dipidana karena terpaksa, baik yang berasal dari manusia maupun dari keadaan. Van Hattum berpendapat demikian, yang diikuti oleh Moeljatno yang mengatakan: “Dari pendapat – pendapat tersebut diatas yang paling dapat saya setujui adalah pendirian Van Hattum. Atas perbuatan yang dilakukan oleh karena pengaruh daya paksa, dimana fungsi batinnya tidak dapat bekerjasecara normal karena adanya tekanan – tekanan dari luar, orang itu dapat dimaafkan kesalahannya. Yang masih menjadi persoalan tentunya ialah berapa besar seharusnya tekanan bathin dari luar itu, untuk dapat dikatakan ada daya paksa yang mengakibatkan kesalahan dapat dimaafkan”.   
Tetapi pendapat yang umum ialah daya paksa itu dapat  berupa dasar pembenar dan dapat pula berupa dasar pemaaf. Jadi menurut para ahli ini, daya paksa (overmacht) yang tercantum didalam pasal 48 KUHP dapat dipisahkan menurut teori atas dua jenis. Van Bemmelen meneyebut keadaan darurat (noodtoestand) sebagai dasar pembenar (rechtvaardigingsgrond). Disini perbuatan dibenarkan, misalnya sopir yang berhenti di jalan umum karena mobilnya mogok, dapat mengajukan sebagai keadaan darurat (noodtoestand). Daya paksa membenarkan (rechtvaardigt) perbuatan – perbuatan jika pembuat tidak mempunyai pilihan yang lain.  
Sedangkan daya paksa dalam arti sempit (artinya ada paksaan dari orang lain), termasuk dalam dasar pemaaf. Yang berpendapat daya paksa dapat dimasukkan sebagai dasar pembenar dan dasar pemaaf seperti ini termasuk pula Simons, Noyon – Langemeijer, Hazewinkel -  Suringa dan juga Jonkers.
Hazewinkel – Suringa menunujuk putusan mengenai keadaan darurat yang paling termasyur, yaitu arrest  kaca mata (opticien arrest, H.R. 15 Oktober 1923 N.J. 1923). Pengadilan Amsterdam  melepaskan seorang penjual kacamata dari semua tuntutan hukum, sesudah dibuktikan bahwa ia, pada waktu toko sudah harus ditutup menurut peraturan yang berlaku di Amsterdam, menjual sebuah kacamata pada seorang yang bernama de Grooth. Karena ditiup angin badai kacamata tuan de Grooth jatuh dan pecah, sehingga ia tidak dapat melihat apa – apa lagi dan oleh karena itu ia berada dalam keadaan berbahaya dan memerlukan pertolongan. Hazewinkel – Suringa selanjutnya menghubungkan putusan ini dengan pendapat Simons, yang mengatakan dalam hal ini Hoge Raad telah menambah keadaan darurat dalam arti sempit yang dahulu berupa daya paksa psikis menjadi lebih luas, yaitu daya paksa obyektif (objectieve overmacht). Disini tidak lagi berupa daya paksa psikis yang mengatakan tidak dipidananya pembuat tetapi telah menjadi dasar pembenar (rechtsvaardigingsgrond), yaitu tidak dipidananya perbuatan: Hazewinkel – Suringa menunjuk H.R. 24 Maret 1953.
Hazewinkel – Suringa sama dengan Van Bemmelen membedakan daya paksa sebagai dasar pembenar dan dasar pemaaf. Paksaan psikis atau daya paksa dalam arti sempit merupakan dasar pemaaf, sedangkan keadaan darurat merupakan dasar pembenar. Tetapi Vos mengatakan bahwa keadaan darurat (noodtoestand) tidak selalu berupa dasar pembenar, kadang – kadang berupa dasar pemaaf. Ia memberi contoh jika seseorang  menghilangkan nyawa beberapa orang untuk menyelamatkan jiwanya sendiri, maka perbuatan itu tidak dapat dibenarkan tetapi orangnya tidak dipertanggungjawabkan. Disini katanya keadaan darurat sebagai dasar pemaaf. Jika seseorang meniggalkan pos penjagaan karena pergi melaporkan tentang terjadinya permufakatan untuk melakukan kejahatan, maka disini ada dasar pembenar.  Kalau kita bandingkan dengan KUHP Jerman (Barat) yang baru, memamng Nodstand dibagi dua, yaitu pasal 34 mengatur tentang dasar pembenar (Rechtfertigender Notstand) dan pasal 35 mengatur dasar pemaaf (Entschulddigender Notstand).
Pompe berpendapat, yaitu daya paksa (overmacht) dimasukkan sebagai dasar pembenar semuanya.  Alasannya ialah pemisahan antara “daya paksa” sebagai dasar peniadaan kesalahan dan “keadaan darurat” sebagai dasar pembenar tidak dapat diterima. Daya paksa itu adalah suatu dorongan yang orang – orang tidak dapat melawannya. Penerapannya dikaitkan dengan kelayakan, perundang – undangan dan keadaan konkret. Arti faktor psikis di dalam daya paksa di luar pembuat. Faktor psikis didalam daya paksa memperlihatkan hubungan antara melawan hukum dan kesalahan.
Van Hamel mengatakan bahwa baik dorongan psikis merupakan keadaan darurat (noodtoestand)  sebagai dasar pembenar, karena pembuat tidak perlu memberi perlawanan. Hazewinkel – Suringa mengatakan bahwa daya paksa (overmacht) itu selalu datang dari luar diri pembuat yang lebih kuat dari dirinya sendiri. Melihat istilah overmacht sudah menunjukkan maksud itu. Kekuatan dari luar itu mendorong dirinya untuk berbuat yang tidak dapat dielakannya. Memori Penjelasan (MvT) juga menyebutnya sebagai sebab luar dari tidak dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, keyakinan susila dan keberatan bathin tidaklah merupakan daya paksa. Seorang pendeta yang menghasut orang agar menolak dinas militer berdasarkan keyakinan susila mengenai persiapan perang dan membunuh sesama manusia, dapat dituntut karena menghasut (H.R. 26 Juni 1916, N.J. 1916, hlm. 703).
  • Pasal 49 (1) KUHP Pembelaan terpaksa, syarat pembelaan terpaksa contohnya ; apabila ada ancaman yg mengancam keselamatan jiwa. 
     Pasal 49 (2) KUHP Pembelaan yang melampaui batas (noodware exest) contoh ; dalam kondisi pikiran tidak stabil, tidak di ancam pidana.
  • Pasal 51 (2) KUHP Perintah atau diberi wewenang, tidak bisa dipidana, hanya yang memberi intstruksi yang dapat diperintah atas perintah jabatan.
Semoga Bermanfaat.

Macam-macam delik dan penjelasannya delik formil, delik meteril, delik komisi, delik omisi, delik khusus, delik umum, delik berhenti, delik berkelanjutan, delik aduan, delik biasa.

Residivic -> di ulang-ulang
- Pelanggaran tidak dapat dipidana (pasal 54 KUHP) bantuan pada pelanggaran tidak dapat dipidana (pasal 60 KUHP)
- Tenggang daluarsa, baik untuk menentukan hak, maupun hak perjalanan pidana bagi pelanggaran lebih pendek dari pidana.
  • Pelanggaran secara umum -> Normatif dan Tertulis.
  • Kejahatan secara umum -> tidak tertulispun dalam Undang-undang
  • Percobaan pidana hukuman dikurangi 1/3
  • Tindak pidana khusus -> Tindak pidana di luar KUHP
Masuk ke pembahasan pokok yaitu macam- macam delik.
  1. Delik formil ialah yang menitik beratkan pada perbuatannya contoh (perbuatan mencuri)
  2. Delik materil ialah delik yg menitikberatkan pada akibat atau larangannya, contoh pembunuhan ( akibatnya itu kematian)
  3. Delik komisi ialah larangan tindak pidana yg sifatnya aktif ( menggerakan organ tubuh )
  4. Delik omisi ialah keharusan atau perintah sifatnya pasif atau diam, keharusan perintah ini maksudnya kewajiban hukum ( contohnya tidak menyusui anaknya (pembiaran).
  5. Delik khusus ialah aturan yg diluar KUHP. contohnya (korupsi, teroris, dll.)
  6. Delik umum adalah kontensional di atur dalam KUHP.
  7. Delik berhenti ialah delik tindak pidana tidak disertai tindak pidana lain, selesai sampai disitu(pencurian)
  8. Delik berkelanjutan ialah disertai tindak pidana lain, melanjutkan tindak pidana sebelumnya.
  9. Delik aduan ialah laporan, tertangkap tangan, dan informasi, 
  • Laporan -> adanya tuntutan balik atau adanya tindak pidana jika laporannya palsu.
  • Informasi -> tidak ada konsekuensi hukum sifatnya secara langsung. 
Delik aduan terbagi menjadi 2 ;
- Absolut -> kesusilaan pasal 282 (pelecehan, pencabulan) dll.
- relatif -> apabila tindak pidana yang dilakukan oleh keluarga laporannya bisa di tarik kembali uu kdrt(mereka yg tinggal dirumah itu).
biaya kerugian yg harus dipertanggung jawabkan pelaku tindak pidana kejahatan yaitu berupa ;
  • Biaya meteril -> yang nyata, misalkan biaya visum atau berobat kedokter atau kerugian lainnya yg nampak.
  • biaya imateril -> biaya tidak nyata atau tidak nampak, misalkan malu bermasyarakat karena cacat.
Satu lagi, Delik biasa ialah pembunuhan, pencurian, perkosaan tindak pidana yg la[porannya tidak bisa ditarik kembali. delik biasa ini harus korbannya yg lapor, apabila korbannya meninggal, aduannya masih bisa diteruskan oleh keluarga.

Semoga bermanfaat.

Saturday, 20 February 2016

Ringkasan yurisprudensi mahkamah agung indonesia

A. Keputusan Mahkamah Agunng

Reg. No 93 K/Kr/1961
Tgl 13 februari 1962


Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 16 tahun 1960.
Perubahan nilai Rp. 25,- menjadi Rp. 250 yg dimaksudkan dalam pasal-pasal : 364, 373, 379 407 ayat 1 KUHP merupakan suatu perubahan dalam perundang-undangan dalam arti menurut pasal 1 (2) KUHP

Kasus :
              H alias S sekitar tahun 1955 s/d 1959dalam daerah kabupaten boyolali telah menerima barang-barang berupa 4 (batang) besi ril dari masyarakat dukuh setempat untuk menjualkan dan hasih penjualannya supaya diberikan barang pecah-pecah. setelah barang-barang tersebut dijual kepada seorang dengan harga Rp. 250,- setidaknya lebih dari Rp. 25,- uang hasil penjualan tersebut dihabiskan untuk kepentingan sendiri, atas perbuatannya itu dia dihadapkan kepengadilan negeri boyolali : Dengan tuduhan berdasar pasal 372 KUHP (penggelapan)

Penyelesaian Perkara
  1. Pengadilan Boyolali dengan putusan tanggal 8 desember 1959 menyatakan H alias S bersalah melakukan kejahatan "penggelapan" dan menjatuhkan pidana penjara selama 4 (empat) bulan.
  2. Pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi di semarang dengan putusannya tanggal 15 mei 1961 tetap menyatakan terdakwa bersalah melakukan kejahatan sebagaimana yang di tuduhkan, tetapi merubah/ memperbaiki pidana yg dijatuhkan, yaitu menjadi pidana selama 1 (satu) bulan.
  3. Terdakwa lewat pembelanya mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dengan mengemukakan beberapa alasan antara lain ;
 - Bahwa tidak dilaksanakannya atau salah pada pelaksanaan peraturan hukum Hakim Pengadilan Tinggi tidak melaksanakan pasal 1 ayat 2 KUHP, oleh sebab pada waktu diadakan pemutusan perkara penuntut kasasi dalam peradilan tingkat banding hal nilai dalam pasal 373 KUHP telah di ubah menjadi Rp. 250,- sehingga perbuatan penuntut kasasi menjadi pelanggaran ringan dan terkena p[asal 373 KUHP dan bukan lagi pasal 372 KUHP.
      4. Mahkamah Agung dalam putusannya tanngal 13 februari 1962 menerima/membenarkan alasan kasasi yang di ajukan terdakwa tersebut (alasan-alasan lainnya tidak dibenarkan) sehingga putusan-putusan Pengadilan Negeri Dan Pengadilan Tinggi dibatalkan, dan dengan mengadili sendiri menyatakan penuntutkasasi bersalahan melakukan kejahatan "penggelapan ringan" dengan pidana penjara selama 1(satu ) bulan.
adapun pertimbangan yg dikemukakan, sehubungan dengan keputusan tersebut diatas, berbunyi sebagai berikut :
     Menimbang bahwa keberatan sub 1 ( yakni alasan tersebut di atas, penulis) dapat dibenarkan, karena berdasarkan peraturan pengganti Undang-undang tanggal 14 april 1960 No. 16 tentang perubahan nilai dari Rp. 25,- menjadi Rp. 250,- yg dimaksudkan dalam pasal-pasal : 364, 373, 379, dan 407 ayat 1 KUHP, Pengadilan Tinggi harus memperlakukan ketentuan pasal 1 ayat 2 KUHP, karena Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang tersebut di atas lebih menguntungkan bagi penuntut kasasi;
      Menimbang; bahwa berdasarkan alasan tersebut di atas maka putusan Pengadilan Tinggi tersebut harus di batalkan dan Mahkamah Agung hendak mengadili sendiri Perkara ini.
     Menimbang, bahwa Mahkamah Agung dalam mengadili sendiri perkara ini berpendapat bahwa putusan Pengadilan Negeri tersebut di atas atas alasan -alasan yg dikemukakan dalam putusannya, yg di ambil oleh Mahkamah Agung dan di jadikan sebagai alasan-alasan Mahkamah Agung sendiri sudahlah tepat menganggap terbukti kesalahan penuntut kasasi atas perbuatan yg dituduhkan kepadanya dan menjatuhkan hukuman kepada penuntut kasasi, akan tetapi walaupun demikian berhubung sekarang telah ada Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang tanggal 14 april 1960 No. 16, sebagaimana diuraikan di atas, perbuatan yang di tuduhkan kepada penuntut kasasi yg telah terbukti itu tidak lagi merupakan kejahatan yg di sebut dan di ancam dengan hukuman dalam pasal 373 KUHP, dan karenanya Putusan Pengadilan Negeri tersebut juga harus di batalkan.

Terimakasih, semoga membantu :D

Yang termuat dalam pidana khusus

Hukum Pidana Khusus

A.  Pengertian
Hukum pidana khusus ialah hukum pidana yang berlaku khusus untuk orang-orang yang tertentu. Hukum pidana khusus sebagai perundang-undangan di bidang tertentu yang memiliki sanksi pidana, atau tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan khusus, diluar KUHP baik perUU Pidana maupun bukan pidana tetapi memiliki sanksi pidana.
Pengertian Hukum Pidana Khusus Menurut para ahli:
Menurut SOEDARTO Hukum Pidana Khusus Adalah:
o  Peraturan UU pidana dalam arti sesungguhnya yaitu UU yang menurut tujuannya bermaksud mengatur hak memberi pidana dari engara jaminan dari ketertiban hukum.
o  Peraturan – peraturan hukum pidana dalam suatu UU tersendiri yaitu peraturan- peraturan yang hanya dimaksudkan untuk memberikan sanksi pidana terhadap aturan- aturan salah satu bidang yang terletak diluar hukum pidana.
Prof. Pompe : Menunjuk pada Pelaku Khusus dan Obyek Khusus.
Maksud khusus di sini adalah :
  • Pelaku Khusus artinya tidak semua orang dapat melakukan tindak pidananya.
  • Obyek yg Khusus artinya perbuatan yg diatur adalah perbuatan-perbuatan yg tidak diatur dalam aturan pidana umum tetapi dalam peraturan pidana khusus.
DR. Andi Hamzah : Keseluruhan ketentuan-ketentuan aturan Pidana (perundang-undangan Pidana) di luar KUHP.
B.  Tujuan pengaturan tindak pidana khusus
            Tujuan pengaturan terhadap tindak-tindak pidana yang bersifat khusus adalah untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang tidak tercakup pengaturannya dalam KUHP, namun dengan pengertian bahwa pengaturan itu masih tetap dan berada dalam batas-batas yang diperkenankan oleh hukum pidana formil dan materiil. Dengan kata lain penerapan ketentuan pidana khusus dimungkinkan berdasarkan azas lex specialis derogate legi generali yang mengisyaratkan bahwa ketentuan yang bersifat khusus akan lebih diutamakan daripada ketentuan yang bersifat umum.
C. Ruang Lingkup Tindak Pidana Khusus
            Sebagai suatu perundang-undangan yang besifat khusus dasar hukum maupun keberlakuannya dapat menyimpang dari ketentuan umum buku 1 KUHP bahkan terhadap ketentuan hukum acara (hukum formal) peraturan perundang-undangan tindak pidana khusus dapat pula menyimpang dari undang-undang hukum acara pidana (KUHAP). Peraturan perundang-undangan tindak pidana khusus merupakan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal-hal yang bersifat khusus di luar KUHP. Jadi titik tolak keputusan adalah dapat dilihat dari perbuatan yang diatur masalah subyek tindak pidana, pidananya dan pemidanaannya itu sendiri. Dalam tindak pidana khusus mengenai subyek hukum dapat diperluas tidak saja meliputi orang pribadi melainkan juga badan hukum. Sedangkan dari aspek masalah pemidanaan dilihat dari pola perumusan atau pola ancaman sanksi yang menyimpang dari ketentuan KUHP. Sedangkan substansi hukum tindak pidana khusus meliputi tiga permasalahan yakni tindak pidana pertanggungjawaban pidana serta pidana dan pemidanaan.
Perbedaan antara tindak pidana umum dengan tindak pidana khusus: 
            Tindak pidana umum adalah tindak pidana yang diatur dalam KUHP dan merupakan perbuatan-perbuatan yang bersifat umum, dimana sumber hukumnya bermuara pada KUHP sebagai sumber hukum materiil dan KUHAP sebagai sumber hukum formil. Selain itu sistem peradilannya bersifat kovensional yaitu Polisi sebagai penyidik dan penyelidik, Jaksa sebagai penuntut umum,dan hakim adalah hakim peradilan umum bukan peradilan ad hoc. Contoh tindak pidana umum adalah tindak pidana pembunuhan pasal 338 KUHP, tindak pidana pencurian pasal 362 KUHP. Sedangkan, tindak pidana khusus adalah tindak pidana yang perundang-undangannya diatur secara khusus artinya dalam undang-undang yang bersangkutan dimuat antara hukum pidana materiil dan hukum acara pidana (hukum pidana formil). 
D.  Macam-macam tindak pidana khusus antara lain:
   1.      Tindak Pidana Korupsi 
   2.      Tindak Pidana Pencucian Uang  
   3.      Tindak Pidana Narkotika Narkotika
   4.      Tindak Pidana Pembalakan Hutan secara Liar (Illegal Logging).
   5.      Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
   6.      Tindak Pidana di Bidang Perikanan (Illegal Fishing).
   7.      Tindak Pidana di Bidang Perbankan.
   8.      Tindak Pidana di Bidang Pasar ModaL
   9.      Tindak Pidana di Bidang Lingkungan Hidup.
  10.  Tindak Pidana di Bidang Pelayaran.
  11.  Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia (HAM).
  12.  Tindak Pidana Perdagangan Orang.
  13.   Tindak Pidana di Bidang HAKI.
  14.  Tindak Pidana di Bidang Kepabeanan.
  15.   Tindak Pidana di Bidang Ketenagakerjaan.
  16.   Tindak Pidana dalam Pemilu.
  17.  Tindak Pidana Terorisme.
n18.   Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropik
  19.  Tindak Pidana yang Terkait dengan Konsumen.
  20.   Tindak Pidana Penambangan Liar (Illegal Mining).
  21.   Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cyber Crime).

Yang termuat dalam pidana khusus

Hukum Pidana Khusus

A.  Pengertian
Hukum pidana khusus ialah hukum pidana yang berlaku khusus untuk orang-orang yang tertentu. Hukum pidana khusus sebagai perundang-undangan di bidang tertentu yang memiliki sanksi pidana, atau tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan khusus, diluar KUHP baik perUU Pidana maupun bukan pidana tetapi memiliki sanksi pidana.
Pengertian Hukum Pidana Khusus Menurut para ahli:
Menurut SOEDARTO Hukum Pidana Khusus Adalah:
o  Peraturan UU pidana dalam arti sesungguhnya yaitu UU yang menurut tujuannya bermaksud mengatur hak memberi pidana dari engara jaminan dari ketertiban hukum.
o  Peraturan – peraturan hukum pidana dalam suatu UU tersendiri yaitu peraturan- peraturan yang hanya dimaksudkan untuk memberikan sanksi pidana terhadap aturan- aturan salah satu bidang yang terletak diluar hukum pidana.
Prof. Pompe : Menunjuk pada Pelaku Khusus dan Obyek Khusus.
Maksud khusus di sini adalah :
  • Pelaku Khusus artinya tidak semua orang dapat melakukan tindak pidananya.
  • Obyek yg Khusus artinya perbuatan yg diatur adalah perbuatan-perbuatan yg tidak diatur dalam aturan pidana umum tetapi dalam peraturan pidana khusus.
DR. Andi Hamzah : Keseluruhan ketentuan-ketentuan aturan Pidana (perundang-undangan Pidana) di luar KUHP.
B.  Tujuan pengaturan tindak pidana khusus
            Tujuan pengaturan terhadap tindak-tindak pidana yang bersifat khusus adalah untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang tidak tercakup pengaturannya dalam KUHP, namun dengan pengertian bahwa pengaturan itu masih tetap dan berada dalam batas-batas yang diperkenankan oleh hukum pidana formil dan materiil. Dengan kata lain penerapan ketentuan pidana khusus dimungkinkan berdasarkan azas lex specialis derogate legi generali yang mengisyaratkan bahwa ketentuan yang bersifat khusus akan lebih diutamakan daripada ketentuan yang bersifat umum.
C. Ruang Lingkup Tindak Pidana Khusus
            Sebagai suatu perundang-undangan yang besifat khusus dasar hukum maupun keberlakuannya dapat menyimpang dari ketentuan umum buku 1 KUHP bahkan terhadap ketentuan hukum acara (hukum formal) peraturan perundang-undangan tindak pidana khusus dapat pula menyimpang dari undang-undang hukum acara pidana (KUHAP). Peraturan perundang-undangan tindak pidana khusus merupakan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal-hal yang bersifat khusus di luar KUHP. Jadi titik tolak keputusan adalah dapat dilihat dari perbuatan yang diatur masalah subyek tindak pidana, pidananya dan pemidanaannya itu sendiri. Dalam tindak pidana khusus mengenai subyek hukum dapat diperluas tidak saja meliputi orang pribadi melainkan juga badan hukum. Sedangkan dari aspek masalah pemidanaan dilihat dari pola perumusan atau pola ancaman sanksi yang menyimpang dari ketentuan KUHP. Sedangkan substansi hukum tindak pidana khusus meliputi tiga permasalahan yakni tindak pidana pertanggungjawaban pidana serta pidana dan pemidanaan.
Perbedaan antara tindak pidana umum dengan tindak pidana khusus: 
            Tindak pidana umum adalah tindak pidana yang diatur dalam KUHP dan merupakan perbuatan-perbuatan yang bersifat umum, dimana sumber hukumnya bermuara pada KUHP sebagai sumber hukum materiil dan KUHAP sebagai sumber hukum formil. Selain itu sistem peradilannya bersifat kovensional yaitu Polisi sebagai penyidik dan penyelidik, Jaksa sebagai penuntut umum,dan hakim adalah hakim peradilan umum bukan peradilan ad hoc. Contoh tindak pidana umum adalah tindak pidana pembunuhan pasal 338 KUHP, tindak pidana pencurian pasal 362 KUHP. Sedangkan, tindak pidana khusus adalah tindak pidana yang perundang-undangannya diatur secara khusus artinya dalam undang-undang yang bersangkutan dimuat antara hukum pidana materiil dan hukum acara pidana (hukum pidana formil). 
D.  Macam-macam tindak pidana khusus antara lain:
   1.      Tindak Pidana Korupsi 
   2.      Tindak Pidana Pencucian Uang  
   3.      Tindak Pidana Narkotika Narkotika
   4.      Tindak Pidana Pembalakan Hutan secara Liar (Illegal Logging).
   5.      Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
   6.      Tindak Pidana di Bidang Perikanan (Illegal Fishing).
   7.      Tindak Pidana di Bidang Perbankan.
   8.      Tindak Pidana di Bidang Pasar ModaL
   9.      Tindak Pidana di Bidang Lingkungan Hidup.
  10.  Tindak Pidana di Bidang Pelayaran.
  11.  Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia (HAM).
  12.  Tindak Pidana Perdagangan Orang.
  13.   Tindak Pidana di Bidang HAKI.
  14.  Tindak Pidana di Bidang Kepabeanan.
  15.   Tindak Pidana di Bidang Ketenagakerjaan.
  16.   Tindak Pidana dalam Pemilu.
  17.  Tindak Pidana Terorisme.
n18.   Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropik
  19.  Tindak Pidana yang Terkait dengan Konsumen.
  20.   Tindak Pidana Penambangan Liar (Illegal Mining).
  21.   Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cyber Crime).

UNIFIKASI HUKUM PIDANA BAGIAN KHUSUS KUHP Dari ketentuan-ketentuan khusus yg di atur dalam buku II dan III KUHP, jelas terlihat bahwa KUHP hanya membagi dalam tindak pidana saja yakni "kejahatan" dan "pelanggaran". KUHP tidak membuat apakah jenis kejahatan dan apakah pelanggaran. KUHP hanya menyebutkan atau mengumpulkan perbuatan-perbuatan mana yg masuk dalam buku II (kejahatan). hal ini dermi kepastian hukum karena perbedaan itu mempunyai konsekwensi atau akibat-akibat hukum itu sendiri, antara lain :

Dari ketentuan-ketentuan khusus yg di atur dalam buku II dan III KUHP, jelas terlihat bahwa KUHP hanya membagi dalam tindak pidana saja yakni "kejahatan" dan "pelanggaran".
KUHP tidak membuat apakah jenis kejahatan dan apakah pelanggaran. KUHP hanya menyebutkan atau mengumpulkan perbuatan-perbuatan mana yg masuk dalam buku II (kejahatan). hal ini dermi kepastian hukum karena perbedaan itu mempunyai konsekwensi atau akibat-akibat hukum itu sendiri, antara lain :
  1. Percobaan dan perlakuan dalam melakukan percobaan pelanggaran tindak pidana (pasal 54 dan pasal 50 KUHP) yg dapat dipidanahanya percobaan dan pembantuan terhadap kejahatan.
  2. Pengurus, anggota pengurus dan komisaris dari suatu badan hukum yang di ancam pidana berdasar pasal 59 KUHP hanya berlaku dalam hal melakukan pelanggaran saja.
  3. dalam hal adanya perbarengan (concursus) maka pemidanaannya berbeda untuk kejahatn dan pelanggaran (lihat pasal 63-71)
  4. delik aduan (dimana pengaduan merupakan syarat untuk diadakannya penuntutan) hanya ada untuk delik yg berupa kejahatan saja(lihat pasal 72- pasal 75)
  5. tenggang lewat waktu (daluarsa) untuk penuntutan dan pelaksanaan pidana bagi kejahatan dan pelanggaran berbeda, daluarsa penuntutan dan pelaksanaan pidana untuk kejahatan lebih lama daripada pelanggaran (lihat pasal 78 dan 84 KUHP)
  6. pembayaran denda maximum untuk penebusan (menghindari) penuntutan, hanya berlaku untuk pelanggaran(pasal 82)
Pembagian 2 jenis delik dalam KUHP (kejahatan dan pelanggaran) sesuai dalam pembagian didalam kodifikasi hukum pidana dinegeri belanda (WvS Bld) tahun 1881. sebelum berlakunya WvSvNI pada tahun 1918, yakni sewaktu berlakunya WvS untuk golongan eropa (S. 1866 : NO. 55) dan WvS untuk golongan bumi putera (S. 1872 : No. 85) dikenal pembagian delik dalam 3 (tiga) jenis yaitu :
  1. misdrijven (kejahatan)
  2. wanbedrijven (kejahatan ringan)
  3. overtredingen (pelanggaran)
catatan :
-pembagian 2 (dua) jenis dalam KUHP, yakni kejahatan dan pelanggaran, tidak berarti berarti dalam KUHP tidak dikenal adanya kejahatan-kejahatan ringan : KUHP mengenal 9 macam kejahatan ringan yg semuanya dimaksudkan dalam buku II mengenai kejahatan.
-9 macam kejahatan ringan itu ialah :
  1. penganiayaan ringan terehadap hewan (pasal 302)
  2. penghinaan sederahana/bersahaja (pasal 315)
  3. penganiayaan ringan (pasal 352)
  4. pencurian ringan (pasal 364)
  5. penggelapan ringan (373)
  6. penipuan ringan dalam jual beli (pasal 384)
  7. penipuan ringan (pasal 379)
  8. pengrusakan barang yang ringan (pasal 407)
  9. penadahan ringan (pasal 482)
Dalam pembentukan KUHP Nasional banyak sarjana yang berpendapat untuk menghapuskan saja pembagian antara kejahatan dan pelanggaran, sehingga KUHP hanya terdiri dari 2 (dua) buku saja yakni ; Bagian Umum Dan Bagian Khusus. hal ini sesuai dengan resolusi Seminar Hukum Nasional ke-1 pada tahun 1963.

semoga bermanfaat, lanjut di laman selanjutnya :D
www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net