Alasan-alasan Pengahapus Pidana.
Alasan penghapus pidana ada 2 yaitu ;
- Alasan Pemaaf ialah alasan yang menghilangkan sifat kesalahan pelaku, sehingga perbuatan tersebut diperbolehkan, pasal 44 KUHP (cacad mental), pertumbuhan yang idiot, penyakit (orang gila)
- Alasan Pembenar ialah alasan yang menghilangkan sifat melawan hukum.
- Pasal 48 KUHP_> daya paksa ( overmacht)
- Dalam literatur hukum
pidana biasanya daya paksa itu dibagi dua, yang pertama daya paksa yang absolut
atau mutlak, biasanya disebut vis absoluta. Bentuk ini sebenarnya bukan daya
paksa yang sesungguhnya, karena disini pembuat sendiri menjadi korban paksaan
fisik orang lain. Jadi ia tidak mempunyai pilihan lain sama sekali. Misalnya,
seseorang yang diangkat oleh orang pegulat yang kuat lalu dilemparkan ke orang
lain sehingga orang lain itu tertindas dan cidera. Orang yang dilemparkan itu
sendiri sebenarnya menjadi korban juga sehingga sama sekali tidak dapat
dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan menindas orang lain. Orang yang
dilemparkan ini tidak dapat berbuat lain. Daya paksa absolut seperti ini
bersifat fisik, tetapi dapat juga bersifat psikis, misalnya orang yang
dihipnotis, sehingga melakukan delik. Disinipun orang tersebut tidak dapat
berbuat lain. Dalam hal ini, daya paksa itu datang dari luar. Mungkin dari
manusia seperti disebutkan diatas, mungkin pula dari alam, misalnya pilot yang
pesawatnya terhempas ke landasan karena gempa dan menimpa pula pesawat lain
sehingga jatuh korban di pesawat lain itu.
Menurut Vos,
memasukkan vis absoluta ke dalam daya paksa adalah berkelebihan (overbodig),
karena pembuat yang dipaksa secara fisik itu sebenarnya tidak berbuat.
Perbuatan itu berarti perbuatan yang disadari dan orang yang memaksa itu bukan
sebagai pembuat tidak langsung tetapi sebagai pembuat. Orang yang dipaksa tidak
termasuk dalam rumusan delik. Jadi, kalau dia dituntut mestinya diputus bebas
(yang sengaja atau kelalaian merupakan unsur delik) bukan lepas dari tuntutan
hukum. Kecuali beberapa hal dalam delik pelanggaran karena disitu kesalahan
tidak secara tegas merupakan elemen delik. Hal ini dapat dibandingkan dengan
strict liability (tanggung jawab mutlak).
Van Bemmelen mengatakan
bahwa daya paksa (overmacht) itu suatu pengertian normatif. Itu meliputi hal –
hal yang seseorang karena ancaman, terpaksa melakukan delik. Kalau ia melawan
ancaman itu maka berarti ia berani sebagai pahlawan atau sangat tolol. Kalau
seseorang diancam dengan pistol untuk membunuh orang lain, dapat dianggap
sebagai telah berbuat karena daya paksa. Yang disebut Van Bemmelen ini adalah
bentuk yang sebenarnya daya paksa itu, yang biasa disebut daya paksa relatif
atau vis compul siva.
Daya paksa relatif
dibagi menjadi dua macam, yaitu; yang pertama daya paksa dalam arti sempit
(overmacht in engere zin) dan daya paksa yang disebut keadaan darurat
(noodtoestand). Daya paksa dalam arti sempit ialah disebabkan oleh orang lain,
sedangkan daya paksa yang berupa keadaan darurat (noodtoestand) disebabkan oleh
bukan manusia. Contoh klasik keadaan darurat ialah jika terjadi kecelakaan
kapal seperti Tampomas II, orang melompat ke laut, dan ada orang yang
mendapatkan sepotong papan sebagai pelampung tetapi hanya untuk seseorang saja.
Jika ada orang yang merebut dan mendorong orang yang memegang papan itu supaya
ia sendiri selamat, maka disebut keadaan darurat (noodtoestand). Contoh klasik
ini diperkenalkan oleh Cicero didalam bukunya Republica et de ifficio yang
menunjuk tulisan filsuf Yunani yang bernama Karneades. Keadaan darurat semacam
ini sering disebut sebagai suatu kepentingan melawan kepentingan, atau ada dua
kepentingan yang saling berhadapan, yaitu kepentingan untuk hidup. Adalah
kepentingan orang yang memegang papan untuk hidup, begitu pula yang merebut
papan itu. Keadaan darurat lain, yaitu pertentangan antara kepentingan dan
kewajiban, misalnya seseorang yang dikejar binatang buas lari masuk ke rumah
orang tanpa izin. Disini kepentingan untuk hidup berhadapan dengan kewajiban
untuk menaati hukum (tidak memasuki rumah orang tanpa izin).
Bentuk lain dari daya
paksa, yaitu kewajiban berhadapan dengan kewajiban. Atau dengan kata lain,
pembuat harus melakukan dua kewajiban sekaligus yang saling bertentangan.
Misalnya, kewajiban seseorang penjaga keamanan yang setiap saat harus berada di
posnya, berhadapan dengan kewajiban untuk melaporkan permufakatan jahat untuk
melakukan delik yang diketahuinya (pasal 164 KUHP). Kalau ia pergi melapor ke
pos polisi tentang adanya permufakatan itu, berarti ia meninggalkan pos penjagaannya yang berarti melalaikan kewajiban tersebut. Atau contoh lain seseorang
yang dipanggil menjadi saksi pada dua pengadilan yang bersamaan waktunya. Maka
ia harus meninggalkan salah satu kewajiban tersebut (Menurut pasal 522 KUHP
seseorang yang dipanggil sebagai saksi tidak datang tanpa alasan yang sah,
diancam dengan pidana).
Pertanyaan yang
timbul berikutnya ialah apakah daya paksa (overmacht) termasuk dasar pembenar
atau dasar pemaaf. Para penulis berbeda pendapat mengenai hal ini. Ada yang
mengatakan bahwa semua bentuk daya paksa (ov ermacht), baik dalam arti sempit
maupun keadaan darurat (noodtoestand) termasuk dasar pemaaf
(schulduitluitingsgrond). Alasannya ialah semua perbuatan yang dilakukan itu
masih tetap melawan hukum; hanya orangnya tidak dipidana karena terpaksa, baik
yang berasal dari manusia maupun dari keadaan. Van Hattum berpendapat demikian,
yang diikuti oleh Moeljatno yang mengatakan: “Dari pendapat – pendapat tersebut
diatas yang paling dapat saya setujui adalah pendirian Van Hattum. Atas
perbuatan yang dilakukan oleh karena pengaruh daya paksa, dimana fungsi
batinnya tidak dapat bekerjasecara normal karena adanya tekanan – tekanan dari
luar, orang itu dapat dimaafkan kesalahannya. Yang masih menjadi persoalan
tentunya ialah berapa besar seharusnya tekanan bathin dari luar itu, untuk
dapat dikatakan ada daya paksa yang mengakibatkan kesalahan dapat dimaafkan”.
Tetapi pendapat yang
umum ialah daya paksa itu dapat berupa
dasar pembenar dan dapat pula berupa dasar pemaaf. Jadi menurut para ahli ini,
daya paksa (overmacht) yang tercantum didalam pasal 48 KUHP dapat dipisahkan
menurut teori atas dua jenis. Van Bemmelen meneyebut keadaan darurat
(noodtoestand) sebagai dasar pembenar (rechtvaardigingsgrond). Disini perbuatan
dibenarkan, misalnya sopir yang berhenti di jalan umum karena mobilnya mogok,
dapat mengajukan sebagai keadaan darurat (noodtoestand). Daya paksa membenarkan
(rechtvaardigt) perbuatan – perbuatan jika pembuat tidak mempunyai pilihan yang
lain.
Sedangkan daya paksa
dalam arti sempit (artinya ada paksaan dari orang lain), termasuk dalam dasar
pemaaf. Yang berpendapat daya paksa dapat dimasukkan sebagai dasar pembenar dan
dasar pemaaf seperti ini termasuk pula Simons, Noyon – Langemeijer, Hazewinkel
- Suringa dan juga Jonkers.
Hazewinkel – Suringa menunujuk
putusan mengenai keadaan darurat yang paling termasyur, yaitu arrest kaca mata (opticien arrest, H.R. 15 Oktober
1923 N.J. 1923). Pengadilan Amsterdam
melepaskan seorang penjual kacamata dari semua tuntutan hukum, sesudah
dibuktikan bahwa ia, pada waktu toko sudah harus ditutup menurut peraturan yang
berlaku di Amsterdam, menjual sebuah kacamata pada seorang yang bernama de
Grooth. Karena ditiup angin badai kacamata tuan de Grooth jatuh dan pecah,
sehingga ia tidak dapat melihat apa – apa lagi dan oleh karena itu ia berada
dalam keadaan berbahaya dan memerlukan pertolongan. Hazewinkel – Suringa selanjutnya
menghubungkan putusan ini dengan pendapat Simons, yang mengatakan dalam hal ini
Hoge Raad telah menambah keadaan darurat dalam arti sempit yang dahulu berupa
daya paksa psikis menjadi lebih luas, yaitu daya paksa obyektif (objectieve
overmacht). Disini tidak lagi berupa daya paksa psikis yang mengatakan tidak
dipidananya pembuat tetapi telah menjadi dasar pembenar
(rechtsvaardigingsgrond), yaitu tidak dipidananya perbuatan: Hazewinkel –
Suringa menunjuk H.R. 24 Maret 1953.
Hazewinkel – Suringa sama
dengan Van Bemmelen membedakan daya paksa sebagai dasar pembenar dan dasar
pemaaf. Paksaan psikis atau daya paksa dalam arti sempit merupakan dasar
pemaaf, sedangkan keadaan darurat merupakan dasar pembenar. Tetapi Vos
mengatakan bahwa keadaan darurat (noodtoestand) tidak selalu berupa dasar
pembenar, kadang – kadang berupa dasar pemaaf. Ia memberi contoh jika
seseorang menghilangkan nyawa beberapa
orang untuk menyelamatkan jiwanya sendiri, maka perbuatan itu tidak dapat
dibenarkan tetapi orangnya tidak dipertanggungjawabkan. Disini katanya keadaan
darurat sebagai dasar pemaaf. Jika seseorang meniggalkan pos penjagaan karena
pergi melaporkan tentang terjadinya permufakatan untuk melakukan kejahatan,
maka disini ada dasar pembenar. Kalau
kita bandingkan dengan KUHP Jerman (Barat) yang baru, memamng Nodstand dibagi
dua, yaitu pasal 34 mengatur tentang dasar pembenar (Rechtfertigender Notstand)
dan pasal 35 mengatur dasar pemaaf (Entschulddigender Notstand).
Pompe berpendapat,
yaitu daya paksa (overmacht) dimasukkan sebagai dasar pembenar semuanya. Alasannya ialah pemisahan antara “daya paksa”
sebagai dasar peniadaan kesalahan dan “keadaan darurat” sebagai dasar pembenar
tidak dapat diterima. Daya paksa itu adalah suatu dorongan yang orang – orang tidak
dapat melawannya. Penerapannya dikaitkan dengan kelayakan, perundang – undangan
dan keadaan konkret. Arti faktor psikis di dalam daya paksa di luar pembuat.
Faktor psikis didalam daya paksa memperlihatkan hubungan antara melawan hukum
dan kesalahan.
Van Hamel mengatakan
bahwa baik dorongan psikis merupakan keadaan darurat (noodtoestand) sebagai dasar pembenar, karena pembuat tidak
perlu memberi perlawanan. Hazewinkel – Suringa mengatakan bahwa daya paksa
(overmacht) itu selalu datang dari luar diri pembuat yang lebih kuat dari
dirinya sendiri. Melihat istilah overmacht sudah menunjukkan maksud itu.
Kekuatan dari luar itu mendorong dirinya untuk berbuat yang tidak dapat dielakannya.
Memori Penjelasan (MvT) juga menyebutnya sebagai sebab luar dari tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, keyakinan susila dan keberatan bathin
tidaklah merupakan daya paksa. Seorang pendeta yang menghasut orang agar
menolak dinas militer berdasarkan keyakinan susila mengenai persiapan perang
dan membunuh sesama manusia, dapat dituntut karena menghasut (H.R. 26 Juni
1916, N.J. 1916, hlm. 703).
Daya paksa
(overmacht) tercantum di dalam pasal 48 KUHP. Undang – undang hanya menyebut
tentang tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan karena dorongan
keadaan yang memaksa. Artinya berbunyi:
“Niet strafbaar is hij die een feit begaat waartoe hij door overmacht is
gedrongen”.
Undang – undang tidak
menjelaskan apakah itu keadaan memaksa (overmacht). Tidak jelas, apakah
overmacht itu, apa sebab sehingga dipidana, apakah menyangkut perbuatan (feit)
ataukah pembuatnya. Masalah ini telah berabad – abad dipersoalkan oleh para
yuris dan filosof. Remmelink yang mengerjakan buku Hazewinkel – Suringa,
cetakan ke – 8, mengatakan bahwa pada cetakan ini ia akan membicarakan sebab
yang menjadi dasar tidak dapat dipidana overmacht itu. Didalam hukum alam
katanya orang berpendapat bahwa perbuatan karena keadaan terpaksa itu berada
diluar semua hukum. Necessitas no haber legem (Not kennt kein Gebot), kata
hukum Kononik. Fichte berpendapat bahwa siapa yang membuat karena overmacht
exempt vont der Rechsordnung. Menurut penjelasan MvT, orang yang karena sebab
yang datang di luar sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan, yaitu setiap
kekuatan, dorongan, paksaan yang orang tidak dapat memberikan perlawanan. Jadi,
ini diserahkan kepada Hakim, dan tentu dapat dikembangkan dalam doktrin oleh
para pakar.
Dalam literatur hukum
pidana biasanya daya paksa itu dibagi dua, yang pertama daya paksa yang absolut
atau mutlak, biasanya disebut vis absoluta. Bentuk ini sebenarnya bukan daya
paksa yang sesungguhnya, karena disini pembuat sendiri menjadi korban paksaan
fisik orang lain. Jadi ia tidak mempunyai pilihan lain sama sekali. Misalnya,
seseorang yang diangkat oleh orang pegulat yang kuat lalu dilemparkan ke orang
lain sehingga orang lain itu tertindas dan cidera. Orang yang dilemparkan itu
sendiri sebenarnya menjadi korban juga sehingga sama sekali tidak dapat
dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan menindas orang lain. Orang yang
dilemparkan ini tidak dapat berbuat lain. Daya paksa absolut seperti ini
bersifat fisik, tetapi dapat juga bersifat psikis, misalnya orang yang
dihipnotis, sehingga melakukan delik. Disinipun orang tersebut tidak dapat
berbuat lain. Dalam hal ini, daya paksa itu datang dari luar. Mungkin dari
manusia seperti disebutkan diatas, mungkin pula dari alam, misalnya pilot yang
pesawatnya terhempas ke landasan karena gempa dan menimpa pula pesawat lain
sehingga jatuh korban di pesawat lain itu.
Menurut Vos,
memasukkan vis absoluta ke dalam daya paksa adalah berkelebihan (overbodig),
karena pembuat yang dipaksa secara fisik itu sebenarnya tidak berbuat.
Perbuatan itu berarti perbuatan yang disadari dan orang yang memaksa itu bukan
sebagai pembuat tidak langsung tetapi sebagai pembuat. Orang yang dipaksa tidak
termasuk dalam rumusan delik. Jadi, kalau dia dituntut mestinya diputus bebas
(yang sengaja atau kelalaian merupakan unsur delik) bukan lepas dari tuntutan
hukum. Kecuali beberapa hal dalam delik pelanggaran karena disitu kesalahan
tidak secara tegas merupakan elemen delik. Hal ini dapat dibandingkan dengan
strict liability (tanggung jawab mutlak).
Van Bemmelen mengatakan
bahwa daya paksa (overmacht) itu suatu pengertian normatif. Itu meliputi hal –
hal yang seseorang karena ancaman, terpaksa melakukan delik. Kalau ia melawan
ancaman itu maka berarti ia berani sebagai pahlawan atau sangat tolol. Kalau
seseorang diancam dengan pistol untuk membunuh orang lain, dapat dianggap
sebagai telah berbuat karena daya paksa. Yang disebut Van Bemmelen ini adalah
bentuk yang sebenarnya daya paksa itu, yang biasa disebut daya paksa relatif
atau vis compul siva.
Daya paksa relatif
dibagi menjadi dua macam, yaitu; yang pertama daya paksa dalam arti sempit
(overmacht in engere zin) dan daya paksa yang disebut keadaan darurat
(noodtoestand). Daya paksa dalam arti sempit ialah disebabkan oleh orang lain,
sedangkan daya paksa yang berupa keadaan darurat (noodtoestand) disebabkan oleh
bukan manusia. Contoh klasik keadaan darurat ialah jika terjadi kecelakaan
kapal seperti Tampomas II, orang melompat ke laut, dan ada orang yang
mendapatkan sepotong papan sebagai pelampung tetapi hanya untuk seseorang saja.
Jika ada orang yang merebut dan mendorong orang yang memegang papan itu supaya
ia sendiri selamat, maka disebut keadaan darurat (noodtoestand). Contoh klasik
ini diperkenalkan oleh Cicero didalam bukunya Republica et de ifficio yang
menunjuk tulisan filsuf Yunani yang bernama Karneades. Keadaan darurat semacam
ini sering disebut sebagai suatu kepentingan melawan kepentingan, atau ada dua
kepentingan yang saling berhadapan, yaitu kepentingan untuk hidup. Adalah
kepentingan orang yang memegang papan untuk hidup, begitu pula yang merebut
papan itu. Keadaan darurat lain, yaitu pertentangan antara kepentingan dan
kewajiban, misalnya seseorang yang dikejar binatang buas lari masuk ke rumah
orang tanpa izin. Disini kepentingan untuk hidup berhadapan dengan kewajiban
untuk menaati hukum (tidak memasuki rumah orang tanpa izin).
Bentuk lain dari daya
paksa, yaitu kewajiban berhadapan dengan kewajiban. Atau dengan kata lain,
pembuat harus melakukan dua kewajiban sekaligus yang saling bertentangan.
Misalnya, kewajiban seseorang penjaga keamanan yang setiap saat harus berada di
posnya, berhadapan dengan kewajiban untuk melaporkan permufakatan jahat untuk
melakukan delik yang diketahuinya (pasal 164 KUHP). Kalau ia pergi melapor ke
pos polisi tentang adanya permufakatan itu, berarti ia meninggalkan pos penjagaannya yang berarti melalaikan kewajiban tersebut. Atau contoh lain seseorang
yang dipanggil menjadi saksi pada dua pengadilan yang bersamaan waktunya. Maka
ia harus meninggalkan salah satu kewajiban tersebut (Menurut pasal 522 KUHP
seseorang yang dipanggil sebagai saksi tidak datang tanpa alasan yang sah,
diancam dengan pidana).
Pertanyaan yang
timbul berikutnya ialah apakah daya paksa (overmacht) termasuk dasar pembenar
atau dasar pemaaf. Para penulis berbeda pendapat mengenai hal ini. Ada yang
mengatakan bahwa semua bentuk daya paksa (ov ermacht), baik dalam arti sempit
maupun keadaan darurat (noodtoestand) termasuk dasar pemaaf
(schulduitluitingsgrond). Alasannya ialah semua perbuatan yang dilakukan itu
masih tetap melawan hukum; hanya orangnya tidak dipidana karena terpaksa, baik
yang berasal dari manusia maupun dari keadaan. Van Hattum berpendapat demikian,
yang diikuti oleh Moeljatno yang mengatakan: “Dari pendapat – pendapat tersebut
diatas yang paling dapat saya setujui adalah pendirian Van Hattum. Atas
perbuatan yang dilakukan oleh karena pengaruh daya paksa, dimana fungsi
batinnya tidak dapat bekerjasecara normal karena adanya tekanan – tekanan dari
luar, orang itu dapat dimaafkan kesalahannya. Yang masih menjadi persoalan
tentunya ialah berapa besar seharusnya tekanan bathin dari luar itu, untuk
dapat dikatakan ada daya paksa yang mengakibatkan kesalahan dapat dimaafkan”.
Tetapi pendapat yang
umum ialah daya paksa itu dapat berupa
dasar pembenar dan dapat pula berupa dasar pemaaf. Jadi menurut para ahli ini,
daya paksa (overmacht) yang tercantum didalam pasal 48 KUHP dapat dipisahkan
menurut teori atas dua jenis. Van Bemmelen meneyebut keadaan darurat
(noodtoestand) sebagai dasar pembenar (rechtvaardigingsgrond). Disini perbuatan
dibenarkan, misalnya sopir yang berhenti di jalan umum karena mobilnya mogok,
dapat mengajukan sebagai keadaan darurat (noodtoestand). Daya paksa membenarkan
(rechtvaardigt) perbuatan – perbuatan jika pembuat tidak mempunyai pilihan yang
lain.
Sedangkan daya paksa
dalam arti sempit (artinya ada paksaan dari orang lain), termasuk dalam dasar
pemaaf. Yang berpendapat daya paksa dapat dimasukkan sebagai dasar pembenar dan
dasar pemaaf seperti ini termasuk pula Simons, Noyon – Langemeijer, Hazewinkel
- Suringa dan juga Jonkers.
Hazewinkel – Suringa menunujuk
putusan mengenai keadaan darurat yang paling termasyur, yaitu arrest kaca mata (opticien arrest, H.R. 15 Oktober
1923 N.J. 1923). Pengadilan Amsterdam
melepaskan seorang penjual kacamata dari semua tuntutan hukum, sesudah
dibuktikan bahwa ia, pada waktu toko sudah harus ditutup menurut peraturan yang
berlaku di Amsterdam, menjual sebuah kacamata pada seorang yang bernama de
Grooth. Karena ditiup angin badai kacamata tuan de Grooth jatuh dan pecah,
sehingga ia tidak dapat melihat apa – apa lagi dan oleh karena itu ia berada
dalam keadaan berbahaya dan memerlukan pertolongan. Hazewinkel – Suringa selanjutnya
menghubungkan putusan ini dengan pendapat Simons, yang mengatakan dalam hal ini
Hoge Raad telah menambah keadaan darurat dalam arti sempit yang dahulu berupa
daya paksa psikis menjadi lebih luas, yaitu daya paksa obyektif (objectieve
overmacht). Disini tidak lagi berupa daya paksa psikis yang mengatakan tidak
dipidananya pembuat tetapi telah menjadi dasar pembenar
(rechtsvaardigingsgrond), yaitu tidak dipidananya perbuatan: Hazewinkel –
Suringa menunjuk H.R. 24 Maret 1953.
Hazewinkel – Suringa sama
dengan Van Bemmelen membedakan daya paksa sebagai dasar pembenar dan dasar
pemaaf. Paksaan psikis atau daya paksa dalam arti sempit merupakan dasar
pemaaf, sedangkan keadaan darurat merupakan dasar pembenar. Tetapi Vos
mengatakan bahwa keadaan darurat (noodtoestand) tidak selalu berupa dasar
pembenar, kadang – kadang berupa dasar pemaaf. Ia memberi contoh jika
seseorang menghilangkan nyawa beberapa
orang untuk menyelamatkan jiwanya sendiri, maka perbuatan itu tidak dapat
dibenarkan tetapi orangnya tidak dipertanggungjawabkan. Disini katanya keadaan
darurat sebagai dasar pemaaf. Jika seseorang meniggalkan pos penjagaan karena
pergi melaporkan tentang terjadinya permufakatan untuk melakukan kejahatan,
maka disini ada dasar pembenar. Kalau
kita bandingkan dengan KUHP Jerman (Barat) yang baru, memamng Nodstand dibagi
dua, yaitu pasal 34 mengatur tentang dasar pembenar (Rechtfertigender Notstand)
dan pasal 35 mengatur dasar pemaaf (Entschulddigender Notstand).
Pompe berpendapat,
yaitu daya paksa (overmacht) dimasukkan sebagai dasar pembenar semuanya. Alasannya ialah pemisahan antara “daya paksa”
sebagai dasar peniadaan kesalahan dan “keadaan darurat” sebagai dasar pembenar
tidak dapat diterima. Daya paksa itu adalah suatu dorongan yang orang – orang tidak
dapat melawannya. Penerapannya dikaitkan dengan kelayakan, perundang – undangan
dan keadaan konkret. Arti faktor psikis di dalam daya paksa di luar pembuat.
Faktor psikis didalam daya paksa memperlihatkan hubungan antara melawan hukum
dan kesalahan.
Van Hamel mengatakan
bahwa baik dorongan psikis merupakan keadaan darurat (noodtoestand) sebagai dasar pembenar, karena pembuat tidak
perlu memberi perlawanan. Hazewinkel – Suringa mengatakan bahwa daya paksa
(overmacht) itu selalu datang dari luar diri pembuat yang lebih kuat dari
dirinya sendiri. Melihat istilah overmacht sudah menunjukkan maksud itu.
Kekuatan dari luar itu mendorong dirinya untuk berbuat yang tidak dapat dielakannya.
Memori Penjelasan (MvT) juga menyebutnya sebagai sebab luar dari tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, keyakinan susila dan keberatan bathin
tidaklah merupakan daya paksa. Seorang pendeta yang menghasut orang agar
menolak dinas militer berdasarkan keyakinan susila mengenai persiapan perang
dan membunuh sesama manusia, dapat dituntut karena menghasut (H.R. 26 Juni
1916, N.J. 1916, hlm. 703).
- Pasal 49 (1) KUHP Pembelaan terpaksa, syarat pembelaan terpaksa contohnya ; apabila ada ancaman yg mengancam keselamatan jiwa.
Pasal 49 (2) KUHP Pembelaan yang melampaui batas (noodware exest) contoh ; dalam kondisi pikiran tidak stabil, tidak di ancam pidana.
- Pasal 51 (2) KUHP Perintah atau diberi wewenang, tidak bisa dipidana, hanya yang memberi intstruksi yang dapat diperintah atas perintah jabatan.
Semoga Bermanfaat.